Saya melangkah perlahan memasuki kelas di sebuah sekolah STM di Jakarta. Ini adalah hari pertama saya mengajar kimia di sekolah tersebut. Perasaan yang campur aduk, senang, takut, dan khawatir, sebagai guru baru. Saat tiba di ruangan kelas, saya sangat kaget, karena kondisi kelas yang sangat tidak teratur, kertas berserakan dimana-mana. Siswa-siswa tersebut saling melempar bola kertas dan tidak memperdulikan kehadiran saya. Mereka semua laki-laki dengan postur yang sama atau bahkan lebih besar dari saya. Saya bingung, apa yang harus saya lakukan, dengan nada agak keras, saya kembali mengucapkan salam, tapi mereka tetap sibuk dengan aktivitasnya. Saya mengambil penggaris kayu dan mengetuknya ke papan tulis untuk menarik perhatian mereka. Akhirnya mereka melihat ke arah saya. Setelah memperkenalkan diri, mereka terlihat tidak antusias, bahkan tiba-tiba sesuatu dilempar ke arah saya. Saya sangat kaget, sebuah cicak, sekalipun saya tidak takut cicak, tapi hari itu saya menjadi sangat takut. Saya berusaha tenang, sekalipun badan saya agak gemetar. Saya berusaha menguasai diri dan memulai pelajaran, namun siswa-siswa tersebut sangat sulit dikendalikan, ada yang membelakangi saya, asyik mengobrol, bahkan tertawa. Peringatan, suara keras saya tidak lagi berfungsi. Saya mengajar tanpa memperhatikan siswa-siswa tersebut karena saya bingung apa yang harus saya lakukan. Akhirnya bel berbunyi, dengan perasaan marah dan kesal, saya keluar kelas. Ingin rasanya saya berhenti menjadi guru saat itu.

Cerita di atas adalah pengalaman saya pertama kali mengajar di sebuah sekolah STM yang mayoritas siswanya adalah laki-laki. Seorang guru yang baru saja lulus sebuah universitas dan hanya memperoleh pengalaman PPL di sekolah yang mayoritas memiliki siswa dengan perilaku yang baik, pengalaman ini tentu sangat membuat saya “shock” saat itu. Sekalipun saya lulusan sebuah universitas pendidikan di Jakarta dan orang tua saya adalah guru sekolah dasar, namun saya sama sekali tidak berminat menjadi guru. Saat itu yang saya pikirkan adalah memperoleh pekerjaan. Bahkan ketika diterima di universitas tersebut pada tahun 1999, saya hanya berpikir ” paling tidak saya bisa kuliah di universitas negeri”. Ironis memang, tapi itulah saya saat itu. Bahkan saya pernah diskusi dengan mahasiswa yang mengambil jurusan pendidikan, mereka juga tidak ingin menjadi guru. Dengan alasan tidak diterima di universitas pilihan, mereka menjalani hari-hari di bangku kuliah untuk dididik menjadi guru. Sudah berkembang di masyarakat, profesi guru terkesan bukan menjadi pilihan, gaji yang kecil dan tidak menjadikan kehidupan yang “dianggap layak”. Profesi yang dianggap ekslusif adalah profesi dengan gaji yang besar. Orang tua akan bangga jika anaknya menjadi dokter dan arsitek, bukan menjadi guru.

Saya pernah melakukan studi penelitian tahun lalu mengenai motivasi menjadi guru, koresponden saya adalah mahasiswa master and doctoral degree di CUT, Perth, Australia yang berasal dari empat negara: Amerika, Afrika, Australia, and Philipina. Bahkan sekalipun mereka adalah guru dan dosen yang sedang kuliah jurusan pendidikan. Sebagian besar dari mereka memiliki motivasi menjadi guru setelah beberapa tahun mengajar sebagai guru (lihat di research and journals: motivation to be a teacher). Sebuah persepsi umum yang sama, bahwa gaji guru yang kecil dan sangat mudah menjadi guru daripada tidak bekerja. Ironisnya ujung tombak pendidikan ada di tangan guru.

Di samping masalah motivasi generasi muda menjadi guru, banyak pertanyaan dalam benak saya, terkait kualitas guru. Apakah tuntuan kompetensi guru dalam proses sertifikasi guru menjadi sebuah standar bahwa guru itu adalah guru yang berkualitas? Menjadi guru yang menguasai teori pendidikan, subjek yang diajar, serta hubungan sosial. Apakah guru-guru yang lulus proses sertifikasilah yang layak mendidik generasi bangsa?Generasi apa yang akan dibentuk?Motivasi apa yang mendorong guru-guru mengikuti sertifikasi? tuntutan profesikah, rewardkah atau peningkatan kualitas pribadi sebagai seorang guru?Jika saya menghadiri sebuah seminar, permasalahan kualitas guru, selalu dikaitkan dengan gaji yang kecil. Apakah uang adalah akar masalah dari kualitas guru?Apakah peningkatan gaji akan meningkatkan kualitas guru? Apakah universitas pendidikan tidak cukup layak mendidik calon-calon guru?Terlalu banyak pertanyaan yang senantiasa berkembang di pikiran saya.

Saya bosan mendengar gaji kecil selalu jadi alasan. Saya lelah mendengar overloaded kurikulum menjadi sanggahan untuk menciptakan belajar bermakna. Saya frustasi mendengar anak-anak yang terlihat stress dengan mata pelajaran di sekolah. Saya kembali terngaga ketika tingkat kelulusan siswa begitu rendah. Saya kembali tertunduk ketika guru kembali disalahkan. Untuk apa menjadi guru, jika hanya ingin memiliki pekerjaan dan menghasilkan uang? untuk apa menjadi guru jika membuat anak-anak menjadi frustasi? untuk apa menjadi guru jika anak-anak semakin tidak mengerti siapa dirinya dan bagaimana masa depannya? Untuk apa menjadi guru jika hanya menyelesaikan materi dalam waktu tertentu?untuk apa menjadi guru, jika siswa kita bertanya ” untuk apa kita belajar reaksi kimia, ibu?” dan guru juga tidak memiliki jawaban pasti, bergunakah ilmu itu untuk masa depan mereka?. Saya tutup posting saya dengan pertanyaan tanpa jawaban. Sebuah refleksi diri bagi saya sebagai seorang pendidik, seorang guru, seorang dosen yang bertanggung jawab membentuk mahasiswa saya menjadi guru.

(Perth, 11 April 2006, 8.48pm)

9 thoughts on “Untuk apa menjadi guru????”
  1. Asslamu’alaikum,
    Saya seorang siswi SMK , sejak kecil memiliki cita-cita menjadi guru, saya ingat ketika duduk di bangku Taman Kanak-kanak ketika guru saya bertanya tentang cita-cita, anak-anak yang lain menjawab ingin jadi dokter,pengacara,insinyur dll, hanya saya yang menjawab dengan lantang ingin menjadi guru. Entah apa yang membuat saya kagum dengan sosok guru pada saat itu, yang saya rasakan betapa bangganya dapat berbagi ilmu kepada orang lain,alahkah bahagianya ketika mendengar murid menjadi profesor, jujur cita-cita itu tidak berubah hingga saat ini. Tapi kenapa banyak orang yang tidak ingin menjadi guru??
    Apa saya salah dengan cita-cita saya??

  2. sama seperti yg sya alami…
    masuk PTN dg jalur PMDK (pd wktu itu)
    dg asumsi yg pntg bsa msuk PTN,PMDK pula,dg jurusan yg lumyan prestisius (akreditasi A) n yg ptg gda pljran MAT.
    kuliah djalanin dg adem ayem,gda masalah
    PPL lancar (PPL d bkas sma dlu)
    skripsi jlan lurus kya jln tol..
    giliran lulus bingung………….
    g pgn ngajar scra dr dulu pgnnya duduk d blkg layar trus.
    tp sbg SPd, lowongan krja yg ad cuma GURU
    willy nilly i applied in a vocational school!
    itupun dsuruh papa n mama;(..
    sumpah, pertama dstu grogi n ancur bgt..
    didn’t know how to do n what to do..
    dstu sisi q pgn quit, cr pnglam lain
    tp, dstu sisi, sdih bgt ngliat murid2Q tnyata lum bsa apa2, sdiH krn ktakutan kalo mreka gbs nangkep ap yg Q beri, sdiH ktka nilai mreka ancur……
    tp kdg bete sndiri, ktika mreka ngobrol sndiri, mainan hp, dll…

    bru nyadar jd guru tuh tnyata g mudh!
    harus prepare ini itu..
    administrasi kdu lengkap, buat materi biar anak gmpg nangkep..
    pokonya complicated!

    so, the result is, ttp kudu smangat ngjalanin smua hari..
    kalo guruny g smangat, gmn muridnya?
    smoga ini smua g sia2..
    yg penting murid2Q mudng n dpt nile bagus pas ulangan!
    lega ak…..

    thanks for reading my “curhat”

    1. Salam Nietz..

      Wah hampir sama jalan hidupnya ya..semoga sekarang tetap semangat jadi guru..Iya..banyak sekali masalah plus tantangan jadi guru. Bukan cuma masalah penghargaan terhadap pekerjaan guru, tapi juga overloadnya kerjaan administrasi. Wah, kalau berbagi pengalaman kayaknya seru ya. Tapi, sekali lagi..semangat jadi guru, mudah2an membuat hidup kita berkah.. amiin

      Sukses ya…

      Yuli

  3. saya seorang mahasiswa fisika, cita-cta saya adalah menjadi seorang guru atau dosen atau pengajar. buat saya yang terpenting adalah ketulusan mengajar, ilmu yang kita mliki akan lebih bermanfaat jika kita mampu mengajarannya kepada orang lain. terimakasih.

    1. Salam rera…

      Sepakat…mudah2an cita-citanya tercapai ya…yap..ketulusan sangat penting..bahkan sangat terasa ketika kita ingin “engage” dengan siswa. Ketika mengajar, faktor hati juga mempengaruhi..Sukses ya..

      Yuli

    2. Saya tingkat akhir STKIP di Jakarta. Dalam opini saya, menjadi guru adalah hal yang menuntut kita berkorban untuk kebaikan diri dan sekitar. Hasil dari pengorbanan adalah materi yang jumlahnya tentu tidak sama antara satu guru dengan yang lain, dan yang utama adalah penilaian dari Tuhan dan berkah serta kurnianya yang Insha Allah kita nikmati kini dan nanti. Maju terus guru Indonesia!

  4. waw,,, pengalaman mengajar yang sangat menarik,, mungkin dari sini saya bisa mulai mempersiapkan apa saja yg wajib dikuasai. Ya memang menjadi guru bukan cita2 utama saya.., dan memang saat ini saya masuk PTN dengan jalur beasiswa pula,, jalan yang mulus,, dan alasan saya memilih jurusan ini adalah pekerjaan yang jelas ketika lulus dan beasiswa ini. Saya cancel masuk jurusan kesehatan masyarakat di univ negeri di kota Surabaya, dan akhirnya memilih pendidikan kimia. Di sini saya mulai belajar arti memberi,, memberikan sebuah pendidikan dengan ketulusan,, meskipun money oriented tetap tisak bisa lepas dari semuanya. Semoga mbak2 dan ibu2 yang telah senior bisa share banyak pengalaman tentang senangnya mengajar dan bagaimana trik supaya bisa diterima siswa dengan baik. Setidaknya apa yang saya lakukan saat ini bisa menjadi bekal buat saya di hari nanti,, bukannya ilmu yang bermanfaat bisa membantu kita nanti,,

  5. terkesan saya membaca dari awal hingga akhir,,
    sedangakan saya adalah mahasiswa semester 4 di universitas swasta kelas karyawan pula, itu karena ortu tak punya biaya kuliah, akhirnya saya memilih kuliah sembari bekerja_ banyak banget kebingungan yang ada diotak saya…. sebagai pertanyaan pantaskah saya menjadi calon guru???? ,,,,,

Leave a Reply

%d bloggers like this: