Susahnya Berpikir Kritis: Sebuah Refleksi Diri

Tuntutan berpikir kritis menjadi hal utama dalam proses pembelajaran saya di Australia, yang sangat membuat saya tidak nyaman. Di jurusan saya, tidak ada ujian dalam bentuk test yang biasa dilakukan. Tugas-tugas dalam bentuk paper, menuntut mahasiswa untuk memiliki pemahaman terhadap topik yang diberikan sekaligus belajar bepikir kritis. Suasana akademik yang mendukung, dosen-dosen yang sangat low profile dan sangat menolong sudah menjadi opini utama bagi orang2 yang belajar di luar negeri. Namun, kembali bercermin dan berharap semoga Indonesia akan memiliki hal tersebut di masa yang akan datang. Akses ilmu pengetahuan yang mudah, dosen yang mudah ditemui, diajak diskusi, dan dikritisi. Semoga..

Kembali ke berpikir kritis, saya sangat tidak terbiasa berpikir kritis, sistem pendidikan yang saya jalani di Indonesia, sebagian besar tidak membentuk saya untuk menjadi individu yang berpikir kritis. Saya terbiasa dididik untuk duduk diam di kelas, mendengarkan guru bicara, mencatat, mengerjakan soal, kemudian membawa pekerjaan rumah (PR). Sepertinya, sekolah jadi tempat “transfer” ilmu pengetahuan yang ideal untuk saya. Guru selalu benar sangat terekam dalam benak saya, apalagi ketika masa-masa di sekolah dasar. Sekalipun orang tua saya guru, namun apa yang disampaikan guru saya di kelas adalah yang paling benar. Contohnya, jika ada PR matematika, ayah sangat cerdas menemukan cara yang singkat, tepat, dan mudah dimengerti (saya baru menyadarinya sekarang, he2), tapi selalu saja saya menolak cara yang diberikan ayah.Kalau ada kata “pokoknya” (he2) cara dari guru yang paling benar. Ironisnya, kadang dengan hasil yang sama namun cara penyelesaian yang berbeda, guru kadang memberikan “vonis” sebagai jawaban yang salah..he..lucunya. Malunya, kalau bertemu anak-anak Indonesia yang sekolah di sini, yang terbiasa dididik berpikir kritis di sekolah. Anak-anak usia dini yang ketika diberikan kesempatan bertanya, mereka semua akan berlomba mengemukakan pendapatnya. Anak-anak yang setiap diminta melakukan sesuatu, selalu bertanya, “kenapa? untuk apa?” Semua fenomena dalam kehidupan mereka menjadi hal yang menarik, karena mereka terbiasa menimbulkan pertanyaan yang membuat mereka berpikir kritis.

Susahnya berpikir kritis, susahnya merubah framework saya berpikir. Belajar mengkritisi buku-buku, jurnal-jurnal atau sumber referensi yang lain yang menurut saya sudah sempurna, seringkali yang saya lakukan adalah kritikan positif, he2..isi yang menarik, alur yang terstruktur, ataupun analisa yang tepat. Kadang saya membaca berkali-kali untuk mencari sisi kekurangan sebuah tulisan, namun tidak satupun saya temukan. Bahkan sebuah teori constructivism yang menurut saya sangat tepat untuk diterapkan di dalam kelas, sangat perlu dikritisi. Akhirnya, masa-masa awal, saya belajar di sini, terasa begitu berat. Mengkritisi memang sebuah proses belajar, sebuah proses yang membutuhkan pembiasaan. Karena untuk mengkritisi sebuah topik, membutuhkan pengetahuan kita terhadap topik tersebut( banyak membaca jadi kuncinya), yang menjadi masalah adalah akses informasi terhadap jurnal2 atau buku di Indonesia yang belum memadai kadang membuat semua menjadi terbatas. Namun, menyerah bukan menjadi solusi. Membaca bagaimana orang mengkritik, bagaimana kritik disampaikan bisa menjadi proses pembelajaran awal. Senantiasa mengevaluasi diri juga dapat menjadi proses pembelajaran untuk berpikir kritis.

Saya merasakan pentingnya berpikir kritis dalam proses pembelajaran di kelas. Ketika seorang berpikir kritis, dia tidak hanya memahami topik tersebut, namun pada saat bersamaan dia juga mengevaluasi hal tersebut berdasarkan pemahaman yang dimiliki. Sehingga, jika seorang guru berhasil menciptakan suasana belajar yang memotivasi siswa untuk berpikir kritis, tentu sebuah hal yang sangat perlu dihargai. Seringkali sebagai seorang guru, saya mengungkapkan banyak alasan yang membuat hal ini jarang dilakukan, banyaknya materi yang harus diselesaikan, jumlah siswa yang banyak, ataupun waktu yang terbatas. Tapi sekali lagi lelah rasanya menjadikan hal-hal tersebut menjadi alasan. Dalam pembelajaran mata pelajaran sosial, mungkin menciptakan suasana belajar untuk berpikir kritis lebih mudah dilakukan dibandingkan dalam pembelajaran IPA apalagi matematika. Namun, guru IPA dapat menggunakan isu-isu di masyarakat menjadi sarana untuk memfasilitasi siswa berpikir kritis, contohnya mengangkat isu “bayi tabung” atau “GM food” atau isu-isu yang menimbulkan perdebatan dan terkait dengan sains/IPA itu sendiri. Pada akhirnya, siswa belajar mengkritisi dan belajar melihat dunia dari sudut pandang berbeda. Hal ini akan menciptakan belajar bermakna karena terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Pada intinya, masalahnya bukan pada banyaknya teori-teori belajar yang dipahami guru, bukan pada berapa banyak metode mengajar yang dikuasai, bukan berapa lama pengalaman mengajar, tapi pada keinginan guru itu sendiri untuk belajar, untuk menciptakan belajar bermakna, dan untuk memotivasi siswa menjadi manusia pembelajar. Sungguh, saya bangga melihat guru-guru yang punya semangat juang dan punya keinginan belajar. Guru-guru yang tidak menyerah dengan segala keterbatasan, guru-guru yang senantiasa berada di garis depan. Senantiasa berharap, semoga saya bisa belajar senantiasa berpikir kritis dan memotivasi mahasiswa saya untuk berpikir kritis.

Note: Bahasa Inggris saya jauh dari sempurna, tapi bahasa Indonesia saya rasanya lebih jauh lagi..:)))..susahnya.

3 thoughts on “Susahnya Berpikir Kritis: Sebuah Refleksi Diri”
  1. berpikir kritis bukannya susah, tapi memulai untuk menjadi kritis lebih sulit dibandingkan dengan pemikiran yang kritis itu sendiri.
    Negara kita yg baru berusaha bangkit dari budaya dikte-mendikte tentu saja menjadi kendala tersendiri di saat kita mencoba untuk memulai menjadi kritis.
    Namun, salah satu trik yg mungkin bermanfaat untuk di coba adalah berfikir terbalik dari kenyataan. Berupaya menyalahkan sesuatu yang benar dalam konteks pemikiran bukan aqidah. Walau kita ketahui yang kita tentang itu adalah sudah final sifatnya.
    menlihat dari belakang kita butuh menganalisa, punggung siapa itu? si dodi atau si candra… karna punya postur dan penampilan yang lebih kurang mirip.
    sukses trus mbak…

    kalau ada informasi cara masuk ke salah satu univ di australia tlong di bagi ke email saya yah. saya di aceh lagi nyari peluang untuk bisa melanjutkan studi ke Aust.
    trims.

%d bloggers like this: