Kebijakan Mendikbud mengenai Merdeka Belajar: Kampus Merdeka yang diluncurkan pada akhir bulan Januari 2020 telah menyita perhatian publik dan menjadi topik diskusi menarik di berbagai perguruan tinggi. Kebijakan ini berdampak signifikan bagi perguruan tinggi terutama pada status perguruan tinggi, pembukaan program studi, akreditasi, pengalaman belajar mahasiswa dan kompetensi lulusan. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan reputasi dan kompetensi lulusan kampus-kampus di Indonesia sehingga dapat bersaing di dunia kerja secara global. Namun, dapatkah kebijakan kampus merdeka ini menjadi solusi dalam menghadapi tantangan persaingan global, percepatan kemajuan IPTEKS, dan masyarakat yang semakin kompleks dan multikultur?

Kampus Merdeka sebagai Organisasi Transformatif
Kampus sebagai organisasi transformatif menekankan kemampuan kampus sebagai organisasi yang mampu terus memperbaiki diri melalui evaluasi dan refleksi diri dari level individu hingga universitas. Proses transformasi secara sistemik ini dapat dilakukan melalui sistem yang terintegrasi, termasuk akreditasi. Penyederhanaan proses dan peningkatan level akreditasi oleh Mendikbud merupakan salah satu terobosan dalam kebijakan kampus merdeka. Kebijakan akreditasi otomatis pada perguruan tinggi dan program studi berakreditasi A dengan kinerja baik dan tanpa aduan masyarakat, merupakan terobosan kebijakan pada proses akreditasi yang dianggap menyita tenaga dan waktu. Kebebasan pencapaian level akreditasi, termasuk pada akreditasi internasional, telah membuka persaingan antar universitas secara terbuka. Saat ini terdapat 4612 perguruan tinggi dan 29.437 program studi menurut perguruan tinggi di Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) dengan jumlah 305.293 dosen. Sedangkan, dari keseluruhan perguruan tinggi tersebut hanya tiga universitas termasuk dalam list 15 besar QS Asia Tenggara tahun 2020 (UI, UGM, dan ITB), kurang dari 4% perguruan tinggi, dan hanya 18% program studi berakreditasi A pada data Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN PT). Data ini memperlihatkan dalamnya jurang perbedaan kualitas yang dapat menjadi masalah.

Kebijakan lain adalah mengenai perubahan Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), perubahan ini tidak hanya pada sumber pendanaan, namun juga bagaimana kebijakan tersebut memberikan keleluasan terhadap pengembangan kampus menjadi universitas bereputasi. Salah satu yang ditekankan dalam kebijakan tersebut adalah penekanan pada pentingnya kolaborasi dengan perguruan tinggi pada level internasional yang bereputasi sebagai batu lompatan bagi transformasi kampus. Dengan demikian, kampus dan sivitas akademika diharapkan terbuka dengan berbagai dimensi universitas bereputasi yang berdaya saing global. Namun di sisi lain, analisis Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) (2013) terhadap kondisi pendidikan tinggi di Indonesia, memperlihatkan rendahnya kualitas pembelajaran, sekalipun sebagian besar merupakan kampus yang terpusat pada pembelajaran (teaching university) dibandingkan penelitian (research university), serta rendahnya peranan kampus dalam penelitian dan inovasi. Sedangkan, perkembangan IPTEK menjadi salah satu ukuran daya saing bangsa. Pada lingkup regional ASEAN misalnya, Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara-negara ASEAN lainnya. Daya saing teknologi menurut The Global Competitiveness Index 2018-2019, Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 141 negara di dunia dan menduduki peringkat ke-4 setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand (WEF, 2019).

Oleh karena itu dalam menyikapi kebijakan kolaborasi ini, kampus perlu memahami kekuatannya masing-masing, sehingga kekuatan dan karakteristik kampus menjadi sarana pengakuan reputasi universitas. Misalnya kampus dengan keunggulan bidang kedokteran, teknik, sains, ekonomi, sosial, dll, atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang memiliki kekuatan pada bidang pendidikan. Jadi kebijakan kampus merdeka, diharapkan mendorong kampus bertransformasi untuk dapat mencapai reputasi, bersaing secara global, melalui peningkatan kualitas sistem pembelajaran, penelitian dan inovasi, tanpa mengabaikan peranan kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

Kurikulum Adaptif dan Progresif
Kurikulum yang adaptif dan progresif pada kampus merdeka merupakan kurikulum yang dapat mempersiapkan mahasiswa pada peranannya di masa yang akan datang baik dalam pekerjaan profesional, ilmuan, melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Sehingga, kebijakan Mendikbud dalam fleksibilitas pengalaman belajar di dalam dan luar kampus (industri, instansi, lembaga kemasyarakatan, dll), serta di luar program studi (mengambil mata kuliah di luar program studi) dapat memberikan pengalaman kepada mahasiswa terhadap peranan profesionalismenya di masa yang akan datang. Pengalaman ini merupakan sarana belajar holistik (hard skills dan soft skills) yang memfasilitasi mahasiswa memiliki perspektif yang komprehensif. Tantangan mendasar adalah perubahan struktur kurikulum yang terfokus pada pemenuhan kompetensi bidang keilmuan yang spesifik dan utama (core course), khususnya bagi mahasiswa yang akan melanjutkan jenjang lebih tinggi.

Kita tidak dapat menghindari pandangan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama ekonomi, sehingga seringkali lulusan universitas terfokus pada penyerapan pada dunia kerja. Sedangkan, lulusan universitas tidak hanya bekerja, bekerja sendiri (entrepreneur), ataupun melanjutkan pada jenjang lebih tinggi. Pada akhirnya, kurikulum diharapkan tidak hanya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja, namun lebih dari itu sebagai sarana kontribusi universitas terhadap ilmu pengetahuan, bangsa dan negara. Hal lain yang perlu dipikirkan dalam implementasi pengalaman belajar mahasiswa di luar kampus adalah kesiapan kolaborasi industri, lembaga, atau variasi pengalaman belajar lainnya baik dalam kuantitas (daya tampung) ataupun kualitas (relevansi keilmuan). Bahkan hal yang mungkin terjadi, mahasiswa dapat kuliah di kampus lain pada level nasional ataupun internasional, seperti Program Pertukaran Mahasiswa Nusantara (Permata) yang diselenggarakan oleh kementerian pada LPTK, namun analisis penyetaraan kurikulum, bidang keilmuan, atau teknis pada nama mata kuliah, serta sistem informasi perlu dipersiapkan. Sehingga fleksibilitas pengalaman belajar tersebut relevan dengan bidang keilmuan, mentransformasi paradigma dan kompetensi mahasiswa secara utuh dengan kesiapan sistem yang terintegrasi.

Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan
Dunia sedang mengalami perubahan yang bukan hanya sangat cepat namun juga fundamental (Harari, 2015). Perubahan tersebut menuntut perguruan tinggi untuk berpikir dengan cara yang berbeda, baik dalam menyiapkan kaum profesional maupun sebagai warga negara yang hidup dalam masyarakat yang lebih multikultur. Selama ini, universitas bereputasi seringkali dikaitkan dengan kuantitas mahasiswa yang diterima di dunia kerja, ataupun status alumni yang langsung bekerja. Jika kebijakan kampus merdeka ini memberikan fleksibilitas pengalaman belajar, maka mahasiswa dapat mengembangkan kompetensi lulusan ini ke arah yang lebih holistik yaitu kompetensi lulusan tidak hanya pada kompetensi bekerja, namun juga self management, profesional identity, adaptability, networking, dan global citizenship (Wilton, 2014; Jackson 2015). Sehingga keberhasilan mahasiswa tidak hanya dilihat dalam memperoleh nilai yang bagus dan nilai tinggi dalam mata kuliah (individu), ataupun hanya sekedar lulus dari universitas (vokasi), namun juga bagaimana peranan mahasiswa dalam masyarakat bahwa sebagai anggota masyarakat (sosial), warga negara (nasional) dan warga dunia (global).
Konsep pembentukan agen perubahan ini harus bersifat holistik baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang dimiliki individu, nilai-nilai universitas, ataupun nilai dalam masyarakat dan negara seperti Pancasila, agama, dan budaya. Sehingga mahasiswa berkembang sebagai anggota masyarakat global yang meletakkan nilai-nilai yang dianutnya dalam menghadapi tantangan masa depan yang Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous (VUCA). Hal ini sesuai dengan pernyataan Delbanco (2015) pada bukunya College: What It Was, Is, and Should Be menyatakan kita tidak hanya membutuhkan lulusan yang dapat bekerja secara profesional, namun mahasiswa dapat mengembangkan potensi, refleksi nilai dan ide-ide. Tantangan revolusi industri 4.0 dan society 5.0 sebagai super smart society sejalan dengan kompetensi lulusan yang tidak hanya terfokus pada diri sendiri, namun juga pada masyarakat. Kita tidak membutuhkan lulusan yang cerdas dan terampil, namun tidak memiliki rasa empati terhadap orang lain dan permasalahan lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya kampus merdeka diharapkan tidak hanya terfokus dalam kerangka yang memenuhi persaingan global, penyerapan tenaga kerja, namun juga mentransformasi identitasnya untuk berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan dunia melalui pengembangan kompetensi lulusan sebagai proses yang dilakukan. Bila hal-hal tersebut menjadi visi dalam pengembangan kampus merdeka, maka lulusan perguruan tinggi bukan hanya merdeka dalam proses belajarnya namun juga telah mewujudkan manusia yang merdeka.

Leave a Reply

%d bloggers like this: